Kegagalan Emas Sebagai Alat Pembayaran (Photo credit should read PAUL FAITH/AFP/Getty Images) Selama ratusan tahun emas telah digunakan...
![]() |
Kegagalan Emas Sebagai Alat Pembayaran (Photo credit should read PAUL FAITH/AFP/Getty Images) |
Selama ratusan tahun emas telah digunakan sebagai alat tukar dan diwujudkan dalam bentuk uang koin. Beberapa waktu inipun ada beberapa gerakan untuk menggunakan kembali emas sebagai alat tukar termasuk di dalamnya menggunakan dinar emas sebagai uang.
Beberapa alasan menggunakan kembali emas sebagai uang adalah karena kestabilan emas (golden constant) sebagai nilai intrinsik yang melekat pada uang. Berbeda dengan uang kertas yang dianggap tidak bernilai atau nilai intrinsiknya (bawaan) tidak ada. Sehingga, selain alasan kestabilan nilai, emas dianggap bebas dari inflasi (zero inflation). Meskipun demikian kedua alasan tersebut (nilai intrinsik yang konstan dan bebas inflasi) tidak sepenuhnya benar.
Menggunakan emas sebagai uang sebagaimana yang dilakukan bangsa-bangsa terdahulu terutama Romawi dan Persia tidaklah dapat diterapkan kembali di masa sekarang dan akan datang dengan beberapa alasan yang akan diuraikan.
Adapun kegagalan emas sebagai uang di masa lalu, sebagaimana pengalaman Romawi dan Persia, bahkan kemudian Islam pada masa-masa Mamluk dan Turki-Ottoman (atau Utsmani) biasanya berkait pada beberapa hal seperti devaluasi uang emas dengan mengurangi berat dan kadar (debasement) dan defisit belanja dan lilitan utang dalam tubuh pemerintahan.
Sedangkan alasan-alasan “kegagalan” atau tepatnya kesulitan penerapan kembali emas sebagai uang di masa kini dan akan datang berbeda dengan yang disebutkan (kegagalan masa lalu), termasuk di dalamnya penolakan untuk menerapkan kembali, yang akan diuraikan di bawah ini:
Nilai Intrinsik adalah Statis.
Emas dianggap memiliki nilai intrinsik atau nilai bawaan yang menjamin uang memiliki nilai yang selalu ada sehingga menjamin harga dari uang tersebut. Akan tetapi nilai bawaan tersebut yang melekat bersifat statis. Misalnya statemen:
“1 dinar di tahun 655 bisa membeli satu ekor kambing, di tahun 2012 bisa pula membeli satu ekor kambing, nilainya tetap tidak berubah selama ribuan tahun”.
Pernyataan dalam sejarah bahwa di sekitar tahun 655, emas dengan unit 1 denarii atau disebut 1 dinar dapat membeli seekor kambing adalah benar dan tepat, dan merupakan fakta historis. Akan tetapi pernyataan “tahun 2012, 1 dinar modern yang dianggap setara dengan 1 dinarii pada tahun 655 dapat sama-sama membeli satu ekor kambing” menunjukkan dua persepsi yaitu:
1) Bahwa dinar masa kini yang dibuat memiliki asumsi sama dengan 1 dinarii 1500 tahun sebelumnya. Asumsi ini didasarkan pada harga emas pada masa kini dibanding harga komoditas yaitu kambing. Padahal ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di antaranya:
- perbedaan nilai, baik dari sudut pandang berat dan kadar dinar masa kini dengan nilai 1 dinarii di masa lalu;
- perbedaan persepsi orang akan 1 dinar masa kini oleh orang masa kini dengan 1 dinarii di masa lalu oleh orang-orang yang menggunakan uang tersebut pada masa itu; dan
- kondisi-kondisi yang melekat pada komoditas dalam hal ini kambing seperti jenis varietas (species) kambing, berat/massa kambing, usia kambing, jenis kelamin kambing (betina lebih mahal), waktu transaksi (pada musim haji kambing lebih mahal dibanding musim lain), tempat transaksi (membeli kambing di pasar dibanding membeli di tingkat peternak, karena fakta “pasar hari ini” berbeda dengan “pasar historis 1500 tahun lalu”)
2) Bahwa dinar masa kini (baik beratnya mitsqal 4,44 – 4,5 gram atau berat 4,25 gram, berapapun karatasenya) ingin membuktikan bahwa emas adalah golden constant yang statis. Nilai intrinsik yang statis ingin dibuktikan dengan adanya dinar saat ini. Pembuktian ini sebenarnya justru “merugikan” karena justru memperkuat fakta bahwa emas memiliki nilai yang statis atau tetap. Padahal ekonomi in-itself adalah dinamis. Pasar, apapun persepsi kita akan pasar, adalah dinamis. Itulah sunnatullah dari muamalah, sebagai dinamika. Sehingga pada abad ke 7 saja sudah ada fakta bahwa “1 dinarii bisa membeli 1 kambing atau 2 kambing” sebagai referensi akan dinamika pasar atau muamalah pada masa itu.
Kambing Mati
Mengandaikan nilai emas yang statis (atau tetap) dengan mempeg-kan pada harga kambing, mengandaikan kambing sebagai komoditas “mati”. Padahal semua komoditas, termasuk batu, adalah komoditas yang hidup dan dinamis. Apatah lagi kambing yang memang merupakan makhluq bernyawa (hidup). Pasti terjadi dinamika harga di dalamnya, berkait kondisi-kondisi tertentu, termasuk di dalamnya penawaran dan permintaan sebagai faktor variabel pemberi pengaruh (untuk membedakan sebagai determinan harga).
Sunnatullah atau hukum alam-ekonomi atau hukum alami dari muamalah adalah berkait dengan dinamika kemasyarakatan dan perubahan sosial yang terjadi di dalamnya. Dengan demikian uang, sebagai bagian dari kemasyarakatan, yang di masa lalu merupakan bagian “kecil” dan di masa kini menjadi bagian utama, memiliki dinamikanya pula.
Menawarkan kembali berlakunya uang emas sebetulnya pun, pada akhirnya, menganggap uang sebagai bagian utama perubahan sosial. Apalagi beberapa orang, terutama kaum dinaris, berpendapat bahwa dinar adalah determinan bagi perlawanan atau penghapusan riba. Meskipun rekonstruksi keuangan itu penting, tetapi meletakkan sebagai “determinan pasti” tampaknya telah terjebak pada pandangan monetaris atau setidaknya pandangan bahwa uang merupakan determinan perubahan sosial. Karena sistem uang emas hanyalah bagian dari perubahan yang lebih baik, di mana akar utamanya dan basis dasarnya bukan di uang emas itu sendiri, tapi pada kesadaran yang mendasar (termasuk di dalamnya produksi yang arif dan tidak berlebih).
Sehingga gerakan-gerakan seperti mencetak uang dinar, pasar terbuka, asosiasi para pedagang, wakala, dll yang merupakan gerakan2 ikutan dan pelengkap menjadi bagian dari determinasi yang telah dipaparkan di atas. Sebagai gerakan ikutan atau pelengkap, dia tidak niscaya ada di depan, bahkan mungkin paling belakang.
Dilema Lima Tahun
Fluktuasi harga emas ditentukan dua faktor, yaitu faktor alamiah dan faktor non-alamiah. Meski demikian, faktor nonalamiah sekarang telah menjadi faktor utama. Seandainya tidak ada London Gold Fixing malah dikhawatirkan geliat nonalamiah lebih dominan dan tidak terkendali, termasuk di dalamnya spekulasi-spekulasi dalam pasar komoditas dan pasar derivat yang menggelembung (bubble). Dengan adanya “pengendali” faktor-faktor spekulasi dipersempit menjadi spekulasi-terkendali.
Spekulasi-terkendali (controlled-speculation) yang dikendalikan oleh lima kelompok dalam London Fixingmenghasilkan apa yang disebut sebagai “dilema lima tahun“, yaitu angka tahun bagi spekulan untuk mendapatkan rente dari penimbunan emas. Bagi banyak investor, tepatnya spekulan, berinvestasi emas, atau tepatnya menimbun dan menjual-beli emas, hanya mendapatkan kurva positif pada daur lima tahunan, yang menjadikan investasi emas kurang menarik dan hanya untuk jaga-jaga (midterm hedging).
Berbeda dengan kaum dinaris yang meletakkan emas sebagai sesuatu yang bernilai statis. Para investor emas meletakkan emas sebagai nilai jaga-jaga berdaur lima tahunan untuk setidaknya 10% atau kurang total investasi mereka. Mengapa? Mudah saja banyak sekali yang bisa dilakukan orang dengan jangka waktu lima tahun. Atau dalam kacamata investasi, akan sangat banyak benefit yang bisa diekstrapolasikan dalam jangka waktu itu, ketimbang “hanya memiliki seonggok logam tak berfungsi”.
*Benefit yang dimaksud bisa berupa profit (atau return), bisa pula benefit dalam arti yang lebih luhur, seperti pengalaman, pertemanan, persaudaraan, kesehatan, kemakmuran, dll. Sedangkan istilah dinaris di sini diartikan sebagai sekelompok atau beberapa kelompok orang yang memperjuangkan penerapan kembali dinar sebagai mata uang. Istilah ini tidak bermakna peyoratif tapi netral.
Dengan membuat “uang” dari seonggok logam, sebetulnya kita berpotensi menghentikan sebuah “kerja” yang bisa terjadi, yang merupakan esensi di dalam muamalah. Karena sifat (serakah) manusia untuk “menahan” yang berharga dan melepas yang tidak berharga. Padahal uang semestinya dibuat dari sesuatu yang “kurang” berharga sehingga tidak menjadi hambatan psikis dalam menggunakannya dalam transaksi dan termasuk di dalamnya jual beli. Karena sifat menahan (akses), dalam bahasa lain menabung, itu semestinya diubah dengan sikap saling memberi, yang juga menjadi bagian esensial dalam sedekah dan bermasyarakat. Malahan uang kertas lebih berprestasi dalam hal ini karena setiap seseorang itu menabung akan diputarkan sebagai modal usaha oleh orang lain.
Namun, kaum dinaris membuat mekanisme utang piutang dan kongsi untuk mendinamisasi uang emas yang statis tersebut. Mekanisme ini dibuat agar uang-statis ini menjadi dinamis. Mekanisme pinjam meminjam dan utang piutang ini ditempatkan ke dalam proses tamwil (yaitu proses meningkatkan manfaat harta atau maal dengan melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang meningkatkan daya guna maal itu sendiri). Proses tamwil yang dikenal dalam utang piutang disebut pula mudhorobah atau qirad. Proses ini juga dikenal pula sebagai bagi-hasil.
Utang piutang adalah niscaya, sebagai sesuatu yang alamiah dan tidak terhindarkan. Akan tetapi utang piutang seharusnya tetap menghindarkan manusia dari jebakan ghorim, yaitu seorang yang berhutang tetapi gagal bayar. Sesuatu yang gagal dipertunjukkan dalam sistem perbankan saat ini.
Di sisi lain, sebagai konsekuensi dari upaya agar orang tidak berutang, maka pemberdayaan melalui utang haruslah bersikap short term, misalnya pinjaman by-project, atau anjak investasi berdasarkan suatu kurun waktu terbatas dan berkaitan tujuan yang berjangka pendek. Dalam konteks ini pula perlu dilakukan pengkajian mendalam sehingga bagi hasil adalah menjadi bagi untung dan sekaligus bagi rugi (profit and loss sharing).
Bentuk lain adalah semacam joint venture atau kongsi atau musyarokah. Koperasi adalah bentuk kongsi untuk jumlah peserta yang cukup banyak dan berkembang. Kongsi adalah esensi dari kerjasama usaha di mana semua pihak berperan sesuai kapasitasnya dan berbagi risiko secara seimbang. Dengan demikian semua pihak bekerja dan mendapatkan hasil sesuai performance masing-masing. Dalam konteks ini tidak dikenal “investor” yang hanya karena memiliki modal dapat mengontrol atau memiliki usaha. Kerangka kerja ini harus dilakukan secara cermat agar prinsip keadilan, yang juga berarti ketiadaan kezaliman, dapat manifes.
Kedua model di atas memang dapat berkelanjutan tetapi tidak meniscayakan perlunya menggunakan emas sebagai uang. Tapi memang diperlukan unit uang (denarii) sebagai tolok ukur dan acuan kinerja. Meskipun uang kertas, secara umum, tidak pula memberikan kinerja yang lebih baik. Nanti akan dipaparkan lagi.
Tambang Emas adalah Anti-Alam
Hingga hari ini belum ada suatu penambangan emas yang memenuhi kaidah alamiah. Semua penambangan emas memiliki dua karakteristik yang merusak. Pertama, sifatnya yang eksploitatif atau israf, yaitu mengambil lebih dari haknya.
Mengambil yang “selaras hak” adalah mengambil secukupnya sesuai kebutuhan sehingga alam memiliki kesempatan untuk “pulih” kembali. Semisal mengambil buah dari tanaman, secukupnya sehingga tanaman tersebut dapat berbuah sebagaimana sediakala sampai batas usianya, bukan merontokkan habis.
Kedua, proses pengambilan yang eksplotatif di atas menggunakan bahan-bahan kimiawi yang berbahaya bagi para pekerja dan alam sekitarnya. Banyak penambangan yang merusak habitat dan ekosistem sekitar tambang. Dan banyak pula pekerja tambang yang sakit bahkan cacat dikarenakan terpapar kimiawi dan logam berat yang digunakan untuk mencuci atau memurnikan emas.
Sehingga emas apapun adalah “berdosa” yang dosanya hanya bisa dibersihkan dengan cara menggunakan kembali emas yang ada dan bukan dari tambang baru dan menggunakan sebaik mungkin dengan pertukaran dari tangan ke tangan secara optimum.
Selain itu, jikalau ada penambangan emas-baru (yaitu penambangan yang sudah ada beroperasi untuk mendapatkan emas yang baru dari alam) sebaiknya mengubah praktiknya menjadi praktik-praktik yang selaras alam seperti mengurangi penggunaan kimia berbahaya, melakukan penanganan limbah yang seksama, menjaga kesehatan dan keselamatan para pekerja, serta mempertahankan ekosistem yang ada. Penggunaan mikroba dan pepohonan tertentu akan membantu penambangan lebih baik.
Filosofi Uang Kertas/Digital
Dasar dari uang kertas dan uang digital adalah “unit of account” sebagai basis dari uang ketimbang store of value. Sebagai unit of account akan memudahkan transaksi atau exchange. Dasar ini sepenuhnya akan terpatuhi manakala tidak ada praktik-praktik uang yang riba, seperti pinjam meminjam dengan bunga, pembatasan peredaran uang (termasuk digital), praktik fractional reserve banking, dll.
Perbankan dalam dunia sekarang ini menjadi niscaya karena dibutuhkan suatu mekanisme perantara agar uang dapat beredar dengan optimal dari tangan ke tangan. Mekanisme tersebut, oleh karenanya, harus memberikan kemungkinan tidak adanya penggelembungan uang dalam bentuk apapun. Memang uang emas dan uang perak dapat berfungsi positif di sini karena tidak dapat digelembungkan, dan selalu terbatas-terukur. Sehingga pembatasan pada bentuk uang yang hanya sebagai “unit of account” akan seperti emas dan perak jika dia dibatasi, terbatas, terukur dan ketat sehingga tidak dapat menggelembung dengan cara apapun.
Uang Kertas yang Baik dari Arab Saudi?
Seseorang bercerita:
“Tahun 1998 saya naik haji beli sandal 3 riyal. Tahun 2012 saya pergi umroh saya beli sandal tetap 3 riyal”.
Uang Riyal di Arab Saudi apakah bebas dari inflasi? Tentu tidak. Tetapi Saudi Arabian Financial Authority (SAMA) mem-peg Riyal dengan US Dollar. Selama ini US Dollar dipandang sebagai mata uang paling stabil, meskipun beberapa waktu terakhir, terutama pasca 2008, US Dollar mulai kehilangan kepercayaan (lihat http://www.bloomberg.com/news/2013-11-20/pboc-says-no-longer-in-china-s-favor-to-boost-record-reserves.html)
Kegagalan sistem USD akan menjadi kegagalan Riyal (SAR). Sehingga ilusi ketiadaan inflasi dalam jangka waktu 10 tahun terakhir tidak dapat lagi menjadi “pegangan” mengingat ada kemungkinan segala sesuatu akan berubah.
Melawan Dollar: Emas vs Uang komunitas
Anda mungkin saja pernah mendengar bahwa “memilih kurensi sendiri adalah kebebasan nyata”. Ya itu tentu saja benar, terutama mereka yang bergerak menggunakan uang komunitas.
Sayangnya hal ini tidak terjadi pada emas (termasuk dinar). Mengapa? Mudah saja. Jumlah terbesar cadangan emas (gold reserve) dikuasai oleh segelintir orang. Dan “harga” emas dikontrol oleh hanya lima “keluarga”. Artinya melawan dollar dengan menggunakan emas akan terjebak pada lubang yang sama. Melawan USD dengan dinar, adalah tidak berarti dan sia-sia.
London Fixing dan LBMA adalah “jebakan” bagi para penganjur emas sebagai uang. Jika ingin melakukan liberasi mata uang, maka emas juga perlu diliberalisasi. Sayangnya istilah liberalisasi diartikan “terserah mekanisme pasar”. Istilah mekanisme pasar adalah mitos, demikian pula kaitannya dengan emas. Oleh karena itu liberalisasi emas semestinya adalah berkaitan dengan suplai emas yang selaras alam, yaitu jumlah emas yang diperlukan manusia untuk membangun peradaban yang berkelanjutan, tidak berlebihan dan tidak eksesif. Kerangka etik seperti ini tampaknya lebih dekat kepada utopia. Walhasil diskusi mempertahankan emas sebagai alat tukar… menjadi tidak mungkin, terkecuali menjebakkan diri pada kontrol London Fixing.
Sedangkan uang yang bebas, yang merdeka, adalah uang yang ditentukan sendiri oleh komunitas, di mana komunitas tersebut mampu mengontrol, dan memiliki kendali yang cukup. Dalam konteks emas, sepertinya hal itu jauh dari kenyataan. Semua orang yang mengatakan tentang kemerdekaan kurensi dengan menggunakan dengan dinar, padahal ia tidak memiliki kontrol atas suplai emas, dan juga tidak memiliki kontrol atas nilai tukar emas, membuat arah kemungkinan pada keterkaitan mereka dengan mereka yang memiliki kedua kontrol tersebut.
Menggunakan uang komoditas tetaplah mungkin dalam kerangka uang komunitas. Termasuk menggunakan logam tertentu atau logam mulia (selain emas) selama kendali relatif dikuasai. Dan setidaknya jika kurang dikuasai atau kurang dikontrol, tetapi memang tidak ada yang mengontrolnya, sehingga relatif bebas. Dan perak, meskipun ada berkait dengan emas, masih kurang dipedulikan dan agak lepas kontrol (loose control).
Akan tetapi kita bisa memikirkan yang lain, misalnya gabah/padi dan garam, meskipun secara teknis masih memiliki kendala.
The Dinarist
Saya sudah memberikan definisi mengenai kaum dinaris, yaitu mereka yang mempromosikan penggunaan kembali unit-unit emas (dinarii) sebagai mata uang. Saya memandangnya sebagai sesuatu yang positif. Tetapi mari kita lihat lebih mendalam.
Salah satu kelompok dinaris adalah yang dimotori oleh Fernando Vadillo atau nama Islamnya Umar Ibrahim. Umar Ibrahim menggunakan formula Kelompok Murabitun dalam rekonstruksi yang mereka sebut sebagai Amal Ahli Madinah, meniru Imam Malik, atau Muamalah. Meski demikian, jika kita telaah mendalam istilah-istilah Islamik dan historis tersebut dicomot dengan penafsiran mereka sendiri.
Resep Kaum Neo-Murabitun dan Vadiloisme (bisa disebut begitu) memiliki banyak seali kelemahan. Itulah sebabnya hingga lebih dari dua dasawarsa mereka bagaikan jalan di tempat tanpa progres yang berarti.
Resep itu di antaranya:
- Menghidupkan perdagangan dengan menggunakan token dinar dan dirham. Dinar dan dirham dianggap sebagai semacam uang, atau token, atau barter-sukarela (istilah barter tentu saja tidak tepat, karena asumsinya barang yang dibarter adalah barang yang dibutuhkan seperti menukar makanan dengan pakaian, sesuatu barang yang dikonsumsi atau dikenakan, sedangkan dinar/dirham tidak demikian). Seringkali para pihak yang terlibat di dalamnya adalah middlemen atau perantara yaitu mereka yang unjuk modal membeli dalam jumlah bulk (grosir) dan dijual secara eceran atau ritel. Fakta ini juga menyibak kenyataan bahwa solusi ini belum memenuhi seluruh cycle loop dalam sistem produksi dan jasa serta konsumsi. Dengan value chain yang semakin kompleks, menyelia di tengah tetap saja memerlukan pemenuhan cycle secara utuh dan bertahap yang membutuhkan waktu yang panjang. Fakta lain adalah semua transaksi berskala kecil atau sangat kecil di mana dinar atau emas nyaris tidak pernah digunakan. Dirham atau perak pun digunakan secara terbatas, yang sekiranya masih di bawah 40% dari total transaksi.
- Membuat event-event promosional yang disebut pasar festivalUntuk memacu para pelaku, yang mayoritas kelas menengah perkotaan yang sedikit memiliki akses pada sumber produksi digunakanlah sebentuk kegiatan pasar festival. Kegiatan ini memiliki dua tujuan utama: pertama, agar dirham itu dipertukarkan dalam transaksi sehingga berputar dari tangan ke tangan. Kedua, promosi dan merekrut anggota baru. Akan tetapi kegiatan yang tidak memiliki akar sosial ini berbiaya tinggi yang menyita tenaga dan juga sumberdaya, yang menjadikan efisiensinya kurang baik. Keterlibatan kelas menengah nonprodusen dalam pasar festival menjadikan ketergantungan pada produsen tinggi dan tidak berkelanjutan. Banyak sekali kegiatan atau event pasar festival yang berhenti di tengah jalan karena kekurangan strategi dari para pioner, yang juga menunjukkan kapasitas leadership yang rendah.
- Utang piutang menggunakan dinar dirham dengan istilah qirod dan syirkahKegiatan ini juga banyak dipromosikan melalui media sosial. Bahkan patut diduga para pioner dinar dirham ini waktunya lebih banyak habis untuk promosi (foto-foto), iklan-iklan dan bermedia sosial seperti berfacebook ria. Akan tetapi dalam pengamatan, sebagian dari berita dapat diduga hanya “fake” dan sebagian lain memang tidak berlanjut, atau macet/mandeg. Untuk menjamin keberlanjutan memang cycle loop-nya memang harus dipenuhi.
- Tidak ada gilda real yang ada hanya asosiasi yang turn overnya tinggi.Pembentukan kelompok dan pengorganisasian asosiasi tentulah sangat esensial. Namun ini berbeda dengan gilda yang merupakan basis produksi dan merupakan para produsen berkumpul dan bekerja bersama. Kreasi menggunakan perkumpulan yang ada menjadi “ajang temu usaha” dan “pengembangan kewirausahaan” merupakan langkah baik, meskipun tidak selalu selaras dengan gagasan mengenai pembentukan gilda. Selain itu adalah bahwa perkumpulan yang ada memiliki turn over yang tinggi, di mana banyak orang baru masuk, tapi banyak pula orang lama yang keluar. Sebab utamanya adalah: tidak memberikan benefit apapun di dalam kelompok. Sebab lain: kakunya mekanisme kelompok, berpusat pada orang tertentu yang disebut amir dan wazir, keputusan yang top-down, dll.
- Legitimasi sultan-sultan lokal tanpa kekuatan politik.Hal ini tidak akan saya bahas karena sarat dengan intrik dan social lanskap yang lebih luas. Suatu kali akan saya bahas.
- Otorisasi fiktif. Otoritas fiktif yang dimaksud adalah WIM. Lembaga ini adalah embedded dengan personaliti Umar Ibrahim yang merupakan segalanya dalam organisasi ini. Otorisasinya hanya berupa self proclaim dan klaim sendiri tanpa basis yang sah dan legitimate. Hal ini juga sering mengundang pertanyaan mengingat personalitinya juga sering membawa masalah, baik soal sikap tertentu, praktik yang tidak selaras ucapan, dan isu-isu yang berkembang berkaitan keuangan dll. Tetapi ini juga melengkapi informasi bahwa otoritasi fiktif ini dikarenakan kelompok ini lebih merupakan kelompok kultus ketimbang kelompok yang secara sosial bertujuan mulia.
Kritik atas Vadiloisme dan Dinaris-Revisionis
Di luar kelompok di atas, dinaris melakukan revisi-revisi pendekatan. Tetapi sayangnya masih dipengaruhi bayang-bayang pendekatan yang sama. Gaya hidup kelas menengah (penggunaan cigar, baju bermerek, gadget, tempat nongkrong, dll) tidak terlepas dari kalangan revisionis ini.
Kritik terhadap semacam Vadiloisme juga berlaku kepada pencetak dinar yang menggunakan pendekatan-pendekatan yang sama. Dalam pandangan kami pandanan mereka itu telah gagal sejak awal.
Oleh karena itu beberapa dinaris mengajukan semacam revisi dan perbaikan. Dapat dikatakan sebagai pandangan revisionis. Mereka mengubah pendekatan dan prioritas, meskipun basis filosofinya masih sama. Perbedaan pendekatan dan prioritas lebih mengacu pada strategic masing-masing pelaku.
Dikarenakan memiliki basis filosofis yang sama, patut diduga akan menghadapi kendala yang sama. Dan oleh karena itu kaum revisionis belum dapat memberikan alternatif yang lebih baik dalam hal ini.
Neo-Dinaris vs Uang Komunitas
Uang komunitas dalam skala kecil justru menunjukkan kinerja lebih baik karena beberapa alasan di antaranya:
- Kontrol atas suplai bahan baku dan kontrol atas harga bahan baku dapat dilakukan komunitas dengan menetapkan secara mandiri suplainya dan harga barang tersebut sebagai nilai uang secara komunal. Tentu saja dengan kendali atas suplai bahan dan kemudian uang komunitasnya akan mudah menentukan nilai uang secara fix terhadap barang dan jasa.
- Uang komunitas memiliki dua kondisi yaitu: (a) kondisi dikehendaki/ diinginkan oleh setiap orang; (b) mudah diakses semua orang (biasanya karena barangnya kurang begitu berharga).
- Memiliki semua kaidah keuangan seperti: (a) dapat dibagi-bagi menjadi bagian kecil dan besar; (b) memiliki nilai meskipun kecil dan bersifat relatif tetap; (c) tidak mudah berubah karena pengaruh lingkungan
- Akan lebih baik jika uang komunitas adalah sarana yang diterima semua pihak tanpa batasan-batasan komunal, meskipun ini bukan syarat mutlak. Hal ini berdasarkan pandangan bahwa self sufficiency tidaklah menjadi tujuan, tetapi justru dibiarkan untuk tidak sepenuhnya self sufficient agar terjadi pertukaran antar komunitas dalam kerangka berbagi take and give.
Oleh karena itu sebagai alternatif dan solusi dapat diajukan beberapa hal:
- Pencetakan dinar akan mengurangi kemandegan emas (emas diam yang disimpan) apabila berdenominasi kecil. Satuan dinar yaitu dengan berat antara 4 – 5 gram adalah satuan terbesar yang relatif paling sedikit dipakai (semakin besar semakin sedikit).
- Institusi asosiasi berskala nasional atau global dapat menggunakan emas sebagai reserve berjangka minimal 5 tahun dan atau dalam kerangka transaksi besar dan bersifat internasional.
- Sudah semestinya ada kebijakan uang komunitas dari setiap komunitas yang ada yaitu menggunakan dirham perak sebagai alat. Kebijakan ini dapat disebut kebijakan “Hanya Dirham!”
Solusi ini adalah langkah tengah yang menurut saya bisa dilakukan.
(Sumber: https://bit.ly/2svQfl1)